Minggu, 21 Agustus 2016

Gunung api purba & embung nglangeran: ego yang terkalahkan

"Kalau ke api purba berapa lama pak?"
Tanyaku pada pak agus sopir yang akan mengantarkan kami explore gunung kidul.
"Sekitar satu jam kalau mau api purba dulu, becici, mangunan baru pantai" saran pak agus
"Baik pak kami ikut saja bapak yang tau daerah sini :)"
Perjalanan kami tempuh selama satu jam dari kota jogya. Keluar dari kota jogya kami memasuki perbukitan. Sepanjang jalan kami dimanjakan dengan hamparan pepohonan hijau yang menyejukkan. Melewati bukit bintang yang katanya kalau malam menyerupai bintang-bintang dilangit efek dari lampu-lampu sebenarnya dan ada spot gardu khusus untuk menikmatinya. Jalannya hampir mirip dengan jalan menuju puncak dari kota bogor. Berbelok, menanjak dan kanan kiri pepohonan sesekali diatas bukit kami dimanjakan dengan hamparan pepohonan.
Sesampainya dipertigaan kami ambil kiri menuju api purba. Mulai memasuki jalan menanjak kami disuguhi perbukitan hijau, tebing-tebing batu dan persawahan. Kami pun melewati pemancar tv indosiar dan rcti. Bebatuan api purba mulai terlihat. Saat ini gunung api purba sudah menjadi tempat wisata yang dikelola.
Gunung ini berbentuk bongkahan batu andesit raksasa membentang sekitar 800 meter dan setinggi 300 meter ini mulai banyak menarik perhatian para wisatawan.
"Mau naik api purba atau embung nglangeran?" Tanya pak agus
Kami pun berdiskusi untuk naik atau menikmati pemandangan nglangeran dari embung.
Seperti biasa gejolak hati ketika berada disuatu tempat apalagi gunung pasti pengen sampai puncaknya. Penasaran apa yang ada diatas dan setelah diatas pasti lebih menyenangkan lagi melihat kebawah.
"Eh tapi kalau ada apa2 gimana? Secara gak ada guide. Gak bawa perlengkapan. Yang dikenakan pun gak cukup safety." Perdebatan pikiranku
Setelah berunding bersama kedua teman ku (eka dan tria ) serta menenangkan nafsu ingin nanjak kamipun mengambil keputusan.
"Ke embung aja yuk." Ajakku
Yang lainpun sepakat. Kamipun lanjut ke embung.
Sebenarnya ingin naik ke api purba tapi karena gak ada guide, perlengkapan gak lengkap dan ternyata rombongan yang naikpun cuman satu rombongan ya sudahlah mungkin next bisa balik lgi buat merasakan puncaknya.
Lanjutlah kami melewati pintu masuk api purba menuju embung.
Sedikit info dari pak agus yang unik di pegunungan Nglangeran ini adalah masyarakat yang tinggal di puncak gunung ini, KK nya atau kepala keluarganya semuanya harus berjumlah 7 KK saja. Lokasinya di tlogo Mardidho, dusun Nglanggeran wetan. Masyarakat setempat yang mendiami tempat tersebut meyakini dan mempercayai aturan yang sudah turun menurun dari sesepuh bahwa penduduk yang mendiami tempat ini harus berjumlah 7 KK saja. Jadi sampai saat ini rumah yang berada di tempat ini hanya terdiri dari 7 rumah saja.

"Welcome embung!"


Kesejukan pagi di nglanggeran bisa kami rasakan betapa syahdu pagi ini. Terpukau melihat kemegahan gunung api purba. 

Gunung api purba
Dinamakan purba mungkin karena bebatuan kali ya, jadi kaya model zaman purba, pikirku.
Embung adalah istilah yang digunakan oleh orang Jawa untuk menyebut telaga buatan yang fungsi utamanya adalah sebagai sarana pengairan. terletak sekitar 1,5 km di “belakang” Gunung Api Purba Nglanggeran yang sudah tersohor itu. 


Untuk mencapainya, kami harus mendaki puluhan anak tangga yang berkelak-kelok. Sebelum dibangun menjadi embung dan diresmikan oleh Sultan HB X pada 19 Februari 2013, tempat ini dulunya adalah sebuah bukit bernama Gunung Gandu. Bukit tersebut lantas dipotong dan dikeruk, kemudian dijadikan telaga tadah hujan supaya bisa mengairi kebun buah rakyat seluas 20 ha yang ada di sekitarnya. Selain berasal dari air hujan, embung ini juga menampung air dari Sumber Sumurup yang terletak di Gunung Nglanggeran.
Setapak demi setapak kami naiki anak tangga dengan penuh semangat. Setelah sampai di atas embung tak lupa kami abadikan keindahan ini. Hal yang selalu aku lakukan adalah merekam dengan baik semesta nglangeran dengan mataku. Kurasakan benar-benar udara sekitar.
Semesta memang indah.
Anugerah tuhan.
Terimakasih tuhan atas kesempatan untuk berpetualang ketempat seperti ini.
Ditengah keasyikan kami menikmati pemandangan ini. Setetes demi tetes air hujan turun kemudian berubah deras. Kamipun berlarian menuju gajebo. Betapa bersyukur diri karena kami tak jadi naik gunung api purba. Apa jadinya kalau kami naik? Mau berteduh sepeti apa? Jalannya pun batu, pasti licin.
Syukurku karena bisa melawan keegoisan diri.
Setelah reda kami pun bergegas untuk mengabadikan kembali kemegahan api purba walau ditemani rintik hujan.
Setelah selesai kami pun memutuskan untuk turun dan hujanpun semakin deras.
Terima kasih semesta aku bisa belajar kembali mengalahkan ego. Bernostalgia dengan alam. Semoga bisa kembali dan merasaka puncak api purba.

Tidak ada komentar: